Pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and learning
(CTL)
Pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching
and learning (CTL) merupakan suatu
sistem pembelajaran yang didasarkan pada filosofi John Dewey (1916) bahwa siswa
akan belajar jika mereka mengetahui makna dari materi akademisnya dan mereka
juga mengetahui makna kegiatan mereka di sekolah. Selain itu siswa juga akan
belajar jika mereka dapat mengaitkan informasi yang baru dengan pengetahuan
sebelumnya dan pengalaman mereka sendiri. Pembelajaran Contextual Teaching
and learning (CTL) bertujuan untuk membekali siswa dengan pengetahuan yang
secara fleksibel dapat diterapkan atau ditransferdari permasalahan
kepermasalahan lain dari satu konteks ke konteks yang lain.
Menurut Nurhadi dkk, (2003:31) ada tujuh komponen utama
yang mendasari penerapan pendekatan Contextual Teaching and learning (CTL)
di dalam kelas. Ketujuh komponen utama itu adalah kontruktivisme (constructivisme),
menemukan (inquiri), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), dan
penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment).
1.
Kontruktivisme (constructivisme)
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi)
pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL), yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas
melalui konteks terbatas. Pengetahuan bukan seperangkat fakta, konsep, atau
kaidah yang siap diambil dan diingat (Nurhadi, 2003: 33). Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dalam hal ini ‘strategi memperoleh pengetahuan’ lebih diutamakan dari pada hasil pengetahuan yang diperoleh oleh siswa.
Dengan dasar tersebut maka pembelajaran harus dikemas menjadi suatu proses
mengkonstuksi bukan menerima pengetahuan. Dalam pembelajaran, siswa membangun
pengetahuannya sendiri melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar
mengajar, sehingga yang menjadi pusat kegiatan dalam pembelajaran adalah siswa
bukan guru. Oleh karena itu, tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan dan bukan mentransfer ilmu. Menurut Nurhadi dkk,
(2003:34) guru dapat menfasilitasi proses tersebut dengan cara:
1.
Menjadikan pengetahuan bermakna
dan relevan bagi siswa;
2.
Memberi kesempatan siswa
menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan
3.
Menyadarkan siswa agar
menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Contoh penerapannya adalah siswa dituntun untuk
mengetahui definisi dari harga pembelian, harga penjualan, untung dan rugi.
Misalnya guru menunjuk beberapa siswa untuk memperagakan kegiatan jual beli di
depan kelas dengan teks yang telah disediakan. Sehingga dari teks percakapan
itu siswa dapat mengetahui harga pembelian, harga penjualan, untung dan rugi.
2.
Menemukan (inquiri)
Menemukan (inquiri) merupakan bagian dari
pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL). pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang
merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya.
Nurhadi dkk, (2003:43) menyebutkan bahwa ada
langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam proses menemukan (inquiri), yaitu:
a.
Merumuskan masalah (dalam mata
pelajaran apapun);
b.
Mengumpulkan data melalui
observasi;
c.
Menganalisis dan menyajikan
hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya;
d.
Mengkomunikasikan/menyajikan
hasil karya kepada pembaca, teman sekelas, atau yang lainnya.
Contoh penerapan pada kegiatan ini dapat dijumpai pada kegiatan
siswa ketika melakukan peragaan jual beli. Dengan kegiatan yang sama pada
kontruktivisme dapat ditemukan rumus harga pembelian, harga penjualan, untung
dan rugi.
3.
Bertanya (Questioning)
Bertanya adalah strategi yang digunakan secara aktif
oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan.
Pertanyaan-pertanyaan spontan yang diajukan oleh siswa dapat merangsang siswa
berpikir, berdiskusi, dan berspekulasi. Guru dapat menggunakan teknik bertanya
dengan cara memodelkan keingintahuan siswa dan mendorong siswa agar mengajukan
pertanyaan-pertanyaan. Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa,
guru dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan orang lain yang
didatangkan ke kelas.
Dalam kegiatan ini ,guru bertanya kepada siswa dengan
tujuan mendorong keingintahuan siswa. Misalnya guru meminta siswa untuk
mendefinisikan harga penjualan, harga pembelian, untung, dan rugi setelah
kegiatan peragaan jual beli.
4.
Masyarakat Belajar (Learning
Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar pengetahuan
diperoleh dari kerja sama dengan teman sejawat atau kerja sama dengan teman
yang lebih dewasa. Konsep masyarakat belajar menyarankan pembelajaran Contextual
Teaching and learning (CTL) dilaksanakan dalam kelompok-kelompok belajar
yang anggotanya heterogen dengan sistem hadiah kolektif bukan individual.
Dalam kelas Contextual Teaching and learning (CTL)
guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok
belajar, karena diharapkan dengan adanya kegiatan seperti ini siswa akan saling
belajar satu dengan yang lain. Metode pembelajaran dengan teknik learning
Community ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas yang prakteknya
dapat berwujud:
a.
Pembentukan kelompok, baik
kelompok kecil maupun kelompok besar;
b.
Bekerja dalam pasangan;
c.
Mendatangkan ahli ke kelas
(tokoh, olahragawan, doktor, polisi, dan lainnya);
d.
Bekerja dengan kelas sederajat;
e.
Bekerja kelompok dengan kelas
di atasnya;
f.
Bekerja dengan tingkat sekolah
di atasnya;
g.
Bekerja dengan masyarakat. (Nurhadi dkk,2003:49)
Penerapannya pada penelitian ini adalah siswa
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Jumlah siswa dalam satu kelompok 4-5
siswa.
5.
Pemodelan (modelling)
Model pengetahuan dan keterampilan tertentu diperlukan
dalam pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL). model yang
dimaksud bisa berupa model proses belajar maupun model hasil belajar. Pemodelan
dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep belajar atau
aktifitas belajar. Di dalam kelas yang menerapkan pembelajaran Contextual
Teaching and learning (CTL), guru bukanlah satu-satunya model. Model dapat
dirancang dengan melibatkan siswa yang dapat ditunjuk untuk memberi contoh atau
memperagakan sesuatu.
Dalam pembelajaran, pemodelan dapat diterapkan dengan
cara:
a.
Mendatangkan tokoh atau figur
yang dapat ditiru siswa;
b.
Memperlihatkan atau menunjukkan
melalui televisi, radio atau lainnya tentang materi yang diberikan;
c.
Menggunakan benda-benda yang
dapat membantu kemampuan verbal dan non verbal siswa sehingga membentuk aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. (Nurhadi dkk,2003:49)
Contoh penerapannya adalah guru mengorientasikan pada
masalah jual beli melalui kegiatan mengamati. Misalnya mengamati kegiatan jual
beli shampo sesuai teks percakapan pada LKS. Sehingga siswa dapat
mendefinisikan dan menemukan sendiri tentang definisi dan rumus harga
pembelian, harga penjualan, untung dan rugi.
6.
Refleksi (reflection)
Refleksi juga merupakan bagian yang penting dalam
pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL). menurut Nurhadi
dkk, (2003:51) Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari
atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan dimasa yang lalu.
Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja
diterima. Siswa mengendapkan apa yang baru saja dipelajarinya sebagai struktur
pengetahuan yang baru, merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan
sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktifitas, atau
pengetahuan yang baru diterima.
Contoh penerapannya adalah guru menanyakan kepada siswa
tentang hal-hal yang baru diperoleh selama pembelajaran. Misalnya menanyakan
definisi dan rumus dan bisa juga siswa disuruh menyimpulkan tentang materi
aritmatika sosial pada sub pokok bahasan harga pembelian, harga penjualan,
untung dan rugi.
7.
Penilaian Sebenarnya (Authentic
Assesment)
Penilaian sebenarnya menitik beratkan pada penilaian
proses dengan tanpa mengesampingkan penilaian hasil. Hal ini didasarkan bahwa
sebenarnya pembelajaran seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar
mampu mempelajari materi, tetapi bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak
mungkin informasi di akhir satuan pembelajaran. Hal ini berarti informasi
dikumpulkan selama maupun setelah pembelajaran. Pengumpulan informasi tidak
hanya dari guru, tetapi bisa dari teman atau orang lain yang terlibat
pembelajaran. Penilaian authentic berupa
presentasi atau penampilan siswa saat mempresentasikan hasil diskusi, hasil tes
tulis, pekerjaan rumah, latihan, karya siswa, laporan yang dapat dinilai pada
saat pembelajaran berlangsung. Pada kegiatan ini penilaian authentik berupa
nilai tes, nilai latihan, dan nilai kektifan siswa selama pembelajaran.
