Thursday, January 17, 2013

Contextual Teaching and learning (CTL)


Pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and learning (CTL)
Pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and learning (CTL) merupakan  suatu sistem pembelajaran yang didasarkan pada filosofi John Dewey (1916) bahwa siswa akan belajar jika mereka mengetahui makna dari materi akademisnya dan mereka juga mengetahui makna kegiatan mereka di sekolah. Selain itu siswa juga akan belajar jika mereka dapat mengaitkan informasi yang baru dengan pengetahuan sebelumnya dan pengalaman mereka sendiri. Pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL) bertujuan untuk membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan atau ditransferdari permasalahan kepermasalahan lain dari satu konteks ke konteks yang lain.
Menurut Nurhadi dkk, (2003:31) ada tujuh komponen utama yang mendasari penerapan pendekatan Contextual Teaching and learning (CTL) di dalam kelas. Ketujuh komponen utama itu adalah kontruktivisme (constructivisme), menemukan (inquiri), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment).
1.    Kontruktivisme (constructivisme)
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL), yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks terbatas. Pengetahuan bukan seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang siap diambil dan diingat (Nurhadi, 2003: 33). Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam hal ini ‘strategi memperoleh pengetahuan’ lebih diutamakan dari pada  hasil pengetahuan yang diperoleh oleh siswa. Dengan dasar tersebut maka pembelajaran harus dikemas menjadi suatu proses mengkonstuksi bukan menerima pengetahuan. Dalam pembelajaran, siswa membangun pengetahuannya sendiri melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar, sehingga yang menjadi pusat kegiatan dalam pembelajaran adalah siswa bukan guru. Oleh karena itu, tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dan bukan mentransfer ilmu. Menurut Nurhadi dkk, (2003:34) guru dapat menfasilitasi proses tersebut dengan cara:
1.         Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa;
2.         Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan
3.         Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.  
Contoh penerapannya adalah siswa dituntun untuk mengetahui definisi dari harga pembelian, harga penjualan, untung dan rugi. Misalnya guru menunjuk beberapa siswa untuk memperagakan kegiatan jual beli di depan kelas dengan teks yang telah disediakan. Sehingga dari teks percakapan itu siswa dapat mengetahui harga pembelian, harga penjualan, untung dan rugi.
2.    Menemukan (inquiri)
Menemukan (inquiri) merupakan bagian dari pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL). pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya.
Nurhadi dkk, (2003:43) menyebutkan bahwa ada langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam proses menemukan (inquiri), yaitu:
a.          Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun);
b.         Mengumpulkan data melalui observasi;
c.          Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya;
d.         Mengkomunikasikan/menyajikan hasil karya kepada pembaca, teman sekelas, atau yang lainnya.
Contoh penerapan pada kegiatan ini dapat dijumpai pada kegiatan siswa ketika melakukan peragaan jual beli. Dengan kegiatan yang sama pada kontruktivisme dapat ditemukan rumus harga pembelian, harga penjualan, untung dan rugi.
3.    Bertanya (Questioning)
Bertanya adalah strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan. Pertanyaan-pertanyaan spontan yang diajukan oleh siswa dapat merangsang siswa berpikir, berdiskusi, dan berspekulasi. Guru dapat menggunakan teknik bertanya dengan cara memodelkan keingintahuan siswa dan mendorong siswa agar mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
Dalam kegiatan ini ,guru bertanya kepada siswa dengan tujuan mendorong keingintahuan siswa. Misalnya guru meminta siswa untuk mendefinisikan harga penjualan, harga pembelian, untung, dan rugi setelah kegiatan peragaan jual beli.                                                                                                                         
4.    Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar pengetahuan diperoleh dari kerja sama dengan teman sejawat atau kerja sama dengan teman yang lebih dewasa. Konsep masyarakat belajar menyarankan pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL) dilaksanakan dalam kelompok-kelompok belajar yang anggotanya heterogen dengan sistem hadiah kolektif bukan individual.
Dalam kelas Contextual Teaching and learning (CTL) guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar, karena diharapkan dengan adanya kegiatan seperti ini siswa akan saling belajar satu dengan yang lain. Metode pembelajaran dengan teknik learning Community ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas yang prakteknya dapat berwujud:
a.       Pembentukan kelompok, baik kelompok kecil maupun kelompok besar;
b.      Bekerja dalam pasangan;
c.       Mendatangkan ahli ke kelas (tokoh, olahragawan, doktor, polisi, dan lainnya);
d.      Bekerja dengan kelas sederajat;
e.       Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya;
f.       Bekerja dengan tingkat sekolah di atasnya;
g.      Bekerja dengan masyarakat.        (Nurhadi dkk,2003:49)
Penerapannya pada penelitian ini adalah siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Jumlah siswa dalam satu kelompok 4-5 siswa.
5.    Pemodelan (modelling)
Model pengetahuan dan keterampilan tertentu diperlukan dalam pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL). model yang dimaksud bisa berupa model proses belajar maupun model hasil belajar. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep belajar atau aktifitas belajar. Di dalam kelas yang menerapkan pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL), guru bukanlah satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa yang dapat ditunjuk untuk memberi contoh atau memperagakan sesuatu.
Dalam pembelajaran, pemodelan dapat diterapkan dengan cara:
a.       Mendatangkan tokoh atau figur yang dapat ditiru siswa;
b.      Memperlihatkan atau menunjukkan melalui televisi, radio atau lainnya tentang materi yang diberikan;
c.       Menggunakan benda-benda yang dapat membantu kemampuan verbal dan non verbal siswa sehingga membentuk aspek kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. (Nurhadi dkk,2003:49)
Contoh penerapannya adalah guru mengorientasikan pada masalah jual beli melalui kegiatan mengamati. Misalnya mengamati kegiatan jual beli shampo sesuai teks percakapan pada LKS. Sehingga siswa dapat mendefinisikan dan menemukan sendiri tentang definisi dan rumus harga pembelian, harga penjualan, untung dan rugi.
6.    Refleksi (reflection)
Refleksi juga merupakan bagian yang penting dalam pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL). menurut Nurhadi dkk, (2003:51) Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan dimasa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima. Siswa mengendapkan apa yang baru saja dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktifitas, atau pengetahuan yang baru diterima.
Contoh penerapannya adalah guru menanyakan kepada siswa tentang hal-hal yang baru diperoleh selama pembelajaran. Misalnya menanyakan definisi dan rumus dan bisa juga siswa disuruh menyimpulkan tentang materi aritmatika sosial pada sub pokok bahasan harga pembelian, harga penjualan, untung dan rugi.
7.    Penilaian Sebenarnya (Authentic Assesment)
Penilaian sebenarnya menitik beratkan pada penilaian proses dengan tanpa mengesampingkan penilaian hasil. Hal ini didasarkan bahwa sebenarnya pembelajaran seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari materi, tetapi bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir satuan pembelajaran. Hal ini berarti informasi dikumpulkan selama maupun setelah pembelajaran. Pengumpulan informasi tidak hanya dari guru, tetapi bisa dari teman atau orang lain yang terlibat pembelajaran. Penilaian authentic  berupa presentasi atau penampilan siswa saat mempresentasikan hasil diskusi, hasil tes tulis, pekerjaan rumah, latihan, karya siswa, laporan yang dapat dinilai pada saat pembelajaran berlangsung. Pada kegiatan ini penilaian authentik berupa nilai tes, nilai latihan, dan nilai kektifan siswa selama pembelajaran.
»» READMORE...

Wednesday, January 16, 2013

PEMBUBARAN RSBI


Pembubaran RSBI Dinilai Memenuhi Keadilan Masyarakat
Pendidikan dinikmati tanpa ada pembedaan status.

Pembubaran penyelenggaraan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai sebagai keputusan yang tepat. Sebab, tiadanya RSBI berarti tak ada lagi pembedaan dalam pendidikan nasional.

"Dengan pembubaran ini, keadilan bagi anak untuk menikmati pendidikan tanpa ada pembedaan status sekolah telah terpenuhi," kata anggota Komisi X Bidang Pendidikan DPR, Reni Marlinawati, kepada VIVAnews melalui keterangan tertulisnya, Rabu 9 Januari 2012.

Menurut politikus Partai Persatuan Pembangunan itu, dalam prakteknya, penyelenggaraan RSBI tidak hanya telah terjadi pembedaan status sekolah, tetapi juga ditemui banyak pungutan ilegal dengan jumlah yang tidak kecil. Hal tersebut telah merisaukan masyarakat, terutama mereka para orangtua yang menyekolahkan putra-putrinya di sekolah berlabel RSBI.

Karenanya, putusan Mahkamah atas uji materi Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional itu diharapkan menyetarakan pendidikan bagi semua lapisan masyarakat sekaligus meniadakan pungutan-pungutan liar. Sebab, alokasi anggaran negara sebesar 20 persen untuk pendidikan memang dimaksudkan agar tercipta kesetaraan bagi seluruh masyarakat untuk menikmati pendidikan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, kata Reni, harus mengambil pelajaran dari putusan Mahkamah tersebut. Sebab, kini masyarakat dapat mengajukan keberatan atau reaksi terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.

"Jangan memaksakan membuat kebijakan yang diinginkan oleh pemerintah saja, tapi buatlah kebijakan yang diperlukan oleh rakyat," tutur Reni, yang mengaku telah sejak lama tak setuju dengan penyelenggaraan RSBI.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengatakan, orang tua tidak perlu khawatir, sebab kegiatan belajar mengajar masih tetap berjalan seperti biasa. "Sekolah tidak bubar," katanya.

Memang, pascapembatalan pasal 50 ayat 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional membuat sekolah bertaraf internasional menjadi tak ada payung hukumnya. Karena itu, Kementerian rencananya akan mengubah sekolah itu menjadi Sekolah Kategori Mandiri (SKM) atau Sekolah Standar Nasional.

»» READMORE...

ANALISIS KURIKULUM 2013


ANALISIS KURIKULUM 2013
Tema pengembangan kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Diakui dalam perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan abad 21, kini memang telah terjadi pergeseran baik ciri maupun model pembelajaran. Inilah yang diantisipasi pada kurikulum 2013. Skema 1 menunjukkan pergeseran paradigma belajar abad 21yang berdasarkan ciri abad 21 dan model pembelajaran yang harus dilakukan.



Sedang gambar 1 adalah posisi kurikulum 2013 yang terintegrasi sebagaimana tema pada pengembangan kurikulum 2013. Sudah barang tentu untuk mencapai tema itu, dibutuhkan proses pembelajaran yang mendukung kreativitas. Itu sebabnya perlu merumuskan kurikulum yang mengedepankan pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar, dan mencoba (observation based learning) untuk meningkatkan kreativitas peserta didik. Di samping itu, dibiasakan bagi peserta didik untuk bekerja dalam jejaringan melalui collaborative learning. Pertanyaannya, pada pengembangan kurikulum 2013 ini, apa saja elemen kurikulum yang berubah? Empat standar dalam kurikulum meliputi standar kompetensi lulusan, proses, isi, dan standar penilaian akan berubah sebagaimana ditunjukkan dalam skema elemen perubahan.
Perubahan yang Diharapkan
Pengembangan kurikulum­­ 2013, selain untuk memberi jawaban terhadap beberapa permasalahan yang melekat pa­da kurikulum 2006, bertujuan ju­ga untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan meng­omunikasikan (mempresentasikan), apa yang di­ per­oleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelaj­aran.

Melalui pendekatan itu di­harapkan siswa kita memiliki kom­petensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang jauh lebih ba­ik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif. Sedikitnya ada lima entitas, masing-masing peserta didik, pendidik dan tenaga kepe­ndidikan, manajemen satuan pendidikan, Negara dan bangsa, serta masyarakat umum, yang diharapkan mengalami perubahan. Skema 2 menggam­barkan perubahan yang diharapkan pada masing-masing en­itas.



»» READMORE...

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)


PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)
1.    Pengertian
Soedjadi (2001) mengemukakan bahwa PMR didasarkan pada pandangan filsafat yang memandang bahwa matematika sebagai kegiatan manusia (human activity). Hal ini mengakibatkan perubahan mendasar dalam pembelajaran matematika, tidak lagi menekankan pemberian informasi guru kepada siswa, tetapi harus mengaktifkan siswa untuk memperoleh pengetahuan matematika tersebut. Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu. Soedjadi juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan realita, yaitu hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik.
Berdasarkan uraian di atas, proses pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah kontekstual (contextual problems) sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Siswa perlu dipersiapkan bagaimana mendapatkan dan menyelesaikan masalah. Masalah yang disajikan ke siswa adalah masalah kontekstual yakni masalah yang memang semestinya dapat diselesaikan siswa sesuai dengan pengalaman siswa dalam kehidupannya.

2.    Tujuan Pembelajaran Matematika Realistik sebagai berikut:
a)      Menjadikan matematika lebih menarik,relevan dan bermakna,tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak.
b)      Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa.
c)      Menekankan belajar matematika “learning by doing”.
d)     Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika tanpa menggunakan penyelesaian yang baku.
e)      Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika.

3.    Menurut Gravemeijer (dalam Soedjadi, 2001) ada tiga prinsip kunci dalam merancang pembelajaran berbasis PMR, yaitu:
      1)  Guided reinvention/progressive mathematizing (menemukan kembali secara    terbimbing melalui matematisasi progresif).
Menurut prinsip ini, siswa dalam menemukan kembali sebaiknya diberi kesempatan mengalami proses yang serupa dengan proses matematika ditemukan. Secara matematika dapat digunakan sebagai sumber inspirasi desain pembelajaran. Prinsip penemuan kembali dapat juga diilhami oleh prosedur penyelesaian informal. Strategi informal siswa sering dapat ditafsirkan sebagai antisipasi prosedur yang lebih formal.
Dalam hal ini matematisasi prosedur penyelesaian serupa menciptakan kesempatan untuk proses penemuan kembali. Secara umum perlu dicari masalah kontekstual yang mengundangbanyak prosedur penyelesaian, terutama yang bersama-sama telah menunjukkan rute pembelajaran yang mungkin melalui proses matematisasi progresif.
2)      Didactical Phenomenology atau fenomena didaktik.
Prinsip ini  adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam hal ini fenomena pembelajaran menekankan pentingnya situasi dimana topik-topik matematika diajarkan harus diinvestigasi berdasar dua alasan. Pertama, menampakkan atau memunculan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran. Kedua, mempertimbangkan kesesuaiannya sebagai dampak untuk proses matematisasi progresif.
Dalam masalah kontekstual yang diberikan, siswa diharapkan dapat memecahkan dengan caranya sendiri. Sudah barang tentu akan terdapat banyak kemungkinan yang digunakan atau ditemukan kembali oleh siswa. Dengan demikian kepada siswa telah mulai dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani berpendapat. Berdasarkan fenomena didaktik tersebut, proses pembelajaran matematika tidak lagi berorientasi pada guru (teacher oriented), tetapi diubah dengan berorientasi pada siswa (student oriented), bahkan mungkin berorientasi pada masalah kontekstual (contextual problem oriented) yang dihadapi.
3)      Self-developed model atau model dibangun  sendiri oleh siswa.
Baik dalam proses matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan model dibangun sendiri oleh siswa, mungkin ditempuh dengan model nyata dan model abstrak.
Dari pengertian dan prinsip pembelajaran matematika realistik di atas maka permulaan pembelajaran harus dialami secara nyata oleh siswa, pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkret yang sesuai dengan  lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan oleh siswa, sehingga mereka tertarik secara pribadi terhadap aktivitas matematika yang bermakna. Pembelajaran dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berdasarkan pada pengalaman (pengetahuan awal) yang telah dimiliki siswa. Kemudian dengan atau tanpa bantuan guru siswa diharapkan dapat menggunakan masalah kontekstual tersebut sebagai sumber munculnya konsep atau pengertian matematika yang meningkat abstrak.

4.    Karakteristik PMR
Lima karakteristik PMR menurut Treffers (dalam Streefland 1991: 24) yaitu sebagai berikut.
  1. Menggunakan masalah kontekstual (the use of context)
Pembelajaran matematika diawali dengan masalah kontekstual, sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.
  1. Menggunakan model (use models, bridging by vertical instrument)
Istilah model berkaitan dengan situasi dan model matematika yang dibentuk sendiri oleh siswa, yang merupakan jembatan bagi siswa untuk membuat sendiri model dari situasi ke abstrak atau dari situasi informal ke formal.
  1. Menggunakan kontribusi siswa (students contribution)
Siswa diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkonstruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa, artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan.
  1. Menggunakan interaksi (interactivity)
Dalam proses pembelajaran diperhatikan interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan sarana prasarana merupakan hal yang sangat penting.
  1. Terintegrasi dengan topik lain (intertwinning)
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, sehingga keterkaitan atau pengintegrasian antar topik atau materi pelajaran perlu dieksplorasi untuk mendukung agar pembelajaran lebih bermakna.

5.    Kelebihan dan kelemehan pembelajaran metematika realistik
Beberapa keunggulan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:
1.      Pelajaran menjadi cukup menyenangkan bagi siswa dan suasana tegang tidak tampak.
2.      Materi dapat dipahami oleh sebagian besar siswa.
3.      Alat peraga adalah benda yang berada di sekitar, sehingga mudah didapatkan.
4.      Guru ditantang untuk mempelajari bahan.
5.      Guru menjadi lebih kreatif membuat alat peraga.
6.      Siswa mempunyai kecerdasan cukup tinggi tampak semakin pandai.

6.    Beberapa kelemahan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:
1.      Sulit diterapkan dalam suatu kelas yang besar(40- 45 orang).
2.      Dibutuhkan waktu yang lama untuk memahami materi pelajaran.
3.      Siswa yang mempunyai kecerdasan sedang memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu memahami materi pelajaran.

7.    Langkah-langkah  PMR
Pada dasarnya PMR membimbing siswa untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika yang pernah ditemukan oleh para ahli matematika atau bila memungkinkan siswa dapat menemukan sama sekali hal yang belum pernah ditemukan. Ini dikenal sebagai guided reinvention (Soedjadi, 2001).
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa ada lima karakteristik   dan tiga prinsip dalam PMR. Meskipun kelima karakteristik dari kerangka realistik menjadi acuan dalam mendesain pembelajaran dengan pendekatan ini, namun kadang-kadang kelima karakteristik tersebut tidak semuanya muncul. Dalam penelitian ini, karakteristik kelima yaitu intertwinning antar topik atau antar pokok bahasan belum dilakukan.
Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR, Tim MKPBM (2001: 130) mengemukakan beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman berkaitan dengan penerapan PMR, yaitu :
a)      Bagaimana ‘guru’ menyampaikan matematika kontekstual sebagai starting point pembelajaran.
b)      Bagaimana ‘guru’ menstimulasi, membimbing dan memfasilitasi agar prosedur, algoritma, simbol, skema dan model yang dibuat oleh siswa mengarahkan mereka untuk sampai kepada matematika formal.
c)      Bagaimana ‘guru’ memberi atau mengarahkan kelas, kelompok maupun individu untuk menciptakan free production, menciptakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal atau menginterpretasikan masalah kontekstual, sehingga tercipta berbagai macam pendekatan/metode penyelesaian atau algoritma.
d)     Bagaimana ‘guru’ membuat kelas bekerja secara interaktif sehingga interaksi antar siswa, antara siswa dengansiswa dalam kelompok kecil dan antara anggota-anggota kelompok dalam presentasi umum, serta antara siswa dengan guru.
e)      Bagaimana ‘guru’ membuat keterkaitan antara topik dengan topik lain, antara konsep dengan konsep lain, dan antara satu simbol dengan simbol yang lain di dalam rangkaian topik matematika.
Berdasarkan uraian di atas, berikut dikemukakan langkah-langkah PMR yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagaimana dikemukakan oleh Fauzi (2001: 13) sebagai berikut.
Langkah 1: Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah kontekstual dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Jika ada siswa yang belum memahami, Guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang belum dipahami siswa; penjelasan hanya sampai siswa mengerti maksud soal. Pada langkah ini, karakteristik PMR yang muncul  adalah karakteristik pertama  dan keempat yaitu menggunakan konteks dan interaktif (interaksi antara siswa dengan guru).

Langkah 2: Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa secara individual menyelesaikan soal dengan cara mereka sendiri (perbedaan dalam cara menyelesaikan soal diperbolehkan). Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal dalam tingkat kesulitan yang berbeda. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri dengan memberikan pertanyaan, petunjuk/saran.
Dalam langkah ini, semua prinsip PMR termasuk sedangkan karakteristik PMR yang termasuk  adalah karakteristik kedua dan keempat yaitu menggunakan model dan interaktif.

Langkah 3: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu  dan kesempatan pada siswa untuk membandingkan jawaban dari soal secara berkelompok, untuk selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan dalam diskusi kelas.
Dalam langkah ini, karakteristk PMR yang termasuk adalah karakteristik ketiga dan keempat yaitu menggunakan kontribusi siswa dan interaktif (interaksi siswa dengan siswa).

Langkah 4: Menyimpulkan
Dari hasil diskusi guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur.
Dalam langkah ini, karakteristik PMR yang termasuk adalah karakteristik keempat yaitu interaktif (interaksi siswa dengan guru).

»» READMORE...